1 Hukum perjanjian
1.2 Pengertian
1.2 Pengertian
- perjanjian dinamakan juga persetujuan atau Overeenkomsten yaitu “ suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikat kedua belah pihak “ (Wirjono Projodikoro)
- Pasal 1313 KUH Perdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
- perjanjian adalah sesuatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” ia juga mengemukakan perjanjian itu persetujuan karena kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. (Prof. subekti, S.H)
2.Standar Kontrak
2.1 Pengertian
2.1 Pengertian
- Perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir- formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
- perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman) is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
- Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
2.2 Macam Kontrak Standar
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
- 1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
- Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
2.3 Jenis Kontrak Standar
Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal.
1. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditu
2. kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak
3. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan.
1. kontrak standar menyatu
2. kontrak standar terpisah
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian
1. kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani
2. kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan
3.Macam- Macam Perjanjian
Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah. Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.
4.Syarat sahnya perjanjian
Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
- terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
- kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
- terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
- hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
5.Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, sesuai perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu pesesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut . apa yang dikehendaki oleh pihak satu adalah yang dikehendaki oleh pihak lainnya, meskipun tidak sejurusan tapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah tercapai kesepakatan tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu. Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak itu berselisih, tak dapat dilahirkan suatu perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian. Pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
- mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya;
- materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
- mendapatkan peralihan resiko
- membayar seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka hakim.
6.Pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau perikatan. Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas. Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
- Pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
- Kehilafan atau Kekeliruan, Apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
- Penipuan, Apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat).
Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak- cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah
batal demi hukum.
Sumber:
http://www.academia.edu/7287203/Hukum_perjanjian_1._Standar_kontrak_Pengertian
batal demi hukum.
Sumber:
http://www.academia.edu/7287203/Hukum_perjanjian_1._Standar_kontrak_Pengertian